Apakah Menikah di Bulan Muharram Sumber Malapetaka?

- 25 Juli 2022, 19:15 WIB
Ilustrasi Pernikahan di Bulan Muharram
Ilustrasi Pernikahan di Bulan Muharram /Muhammad Basir-Cyio/www.jatim.nu.or.id

RESPONSULTENG - Muharram telah datang. Umat Islam, khususnya Nahdliyyin berbondong-bondong menyambutnya dengan doa, tahlil dan amaliah lain, baik itu sebagai anjuran agama Islam, atau tradisi pribumi yang dikembangkan oleh para pendahulu. Seperti tradisi masyarakat Madura dengan membagikan tajin sora (bubur suro) kepada tetangga.

Terlepas dari kesakralan dan kesucian bulan ini, masih ada umat Islam yang masih melestarikan kepercayaan tertentu yang diwarisi nenek moyang. Misalnya tidak boleh bepergian jauh karena termasuk bulan yang nahas, juga tidak diperkenankan menikah saat bulan Muharram karena dipercaya mendatangkan malapetaka.

Menurut catatan Serat Chentini, jika menikah di bulan Muharram maka setelah berumah tangga akan membuat pasangan memiliki banyak utang. Karenanya tak jarang orang menjauhi hajatan pernikahan di bulan tersebut, sebagaimana dikutip Responsulteng dari tulisan Ahmad Fatoni, Alumni STAI Al-Anwar, Sarang, Rembang dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya pada laman www.jatim.nu.or.id.

Baca Juga: Prakiraan Berbasis Dampak Hujan Lebat Di Indonesia

Ada yang mengatakan bahwa bulan Muharram terkenal dengan bulannya priyayi. Dulu, hanya bangsa keraton yang dapat melangsungkan hajatan di bulan Muharram. Bahkan yang paling tidak masuk akal, penguasa laut Selatan, Nyi Roro Kidul, konon sedang melaksanakan pernikahan. Keyakinan tersebut secara turun-temurun membuat masyarakat enggan melaksanakan pernikahan.

Masyarakat Jawa biasanya melaksanakan hajatan pernikahan pada bulan Dzulhijjah (besar). Bulan tersebut dipercaya sebagai bulan keselamatan. Maka pada bulan ini, banyak digelar pernikahan. Selain itu, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban merupakan bulan yang baik juga untuk menikah. Selain bulan di atas, misal Muharram dan yang lainnya, menurut catatan Serat Chentini mempunyai sisi buruk.

Kebiasaan orang Jawa sejak dulu, orang tua dari anak yang akan menikah pergi terlebih dahulu kepada orang yang dianggap ahli dalam ilmu primbon atau pada umumnya kepada kiai yang paham ilmu tersebut. Tujuannya mencari waktu baik untuk menikahkan anaknya, agar perjalanan hidupnya menjadi lancar. Tak heran kebiasaan dan kepercayaan hari buruk dan baik itu masih dipelihara.

Baca Juga: Prakiraan Gelombang Laut di Wilayah Indonesia 26 Juli 2022

Perlu diketahui bahwa kepercayaan tersebut tidak hanya dimiliki oleh orang Jawa, Sejarah bangsa Arab jahiliyah mempunyai cerita yang sama perihal penentuan waktu pernikahan, yaitu tidak boleh menikah di bulan Syawal, karena dipercaya sebagai bulan yang sial. Kemudian Islam membantah itu melalui pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah pada bulan Syawal.

Hal tersebut seperti dalam sebuah hadits Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-Nisabury, Shahih Muslim, juz 1, bab Istihbab al-tazawwaj al-tazwij fi syawal wa istihbab al-dukhul fihi. Kitab Nikah. Bairut: DKI, 1991, halaman: 1039).

Waktu, tanggal, hari, bulan apa pernikahan yang baik, tidak diatur secara detail dalam agama. Namun, seandainya hendak ittiba’ kepada para Nabi dengan niat mencari berkah itu tidak apa-apa, karena mendapatkan kesunahan.

Atau mengikuti kebiasaan masyarakat setempat dengan tidak melaksanakan pernikahan di bulan tertentu, maka hal itu boleh saja dilakukan sesuai kebiasaan. Yang terpenting tidak sampai mempunyai kepercayaan bahwa, sebab bulan Muharram pernikahan mengundang malapetaka.

Baca Juga: Google beralamat di Sumedang Pada Pendaftaran PSE Kominfo, Ternyata Ini Alasanya

Karena hal itu hanya ilmu titen, pengalaman yang berulang-ulang serta tidak pasti kebenarannya, kemudian dijadikan pedoman oleh masyarakat Jawa. Ilmu titen bisa jadi bergeser sesuai dengan perkembangan keadaan atau zaman.

Perhitungan waktu dan kondisi itu penting dalam hajatan besar seperti pernikahan. Apalagi bersangkutan dengan akad nikah, awal di mana mereka (kedua mempelai) akan mengarungi bahtera kehidupan.

Tentu, yang memiliki hajat ingin prosesi pernikahan dan kehidupannya lancar dan bahagia, serta sakinah mawaddah wa rahmah. Jadi, masyarakat tidak sepenuhnya salah dengan keyakinan primbon, asal titik tekannya adalah tidak ada yang dapat mempengaruhi kecuali Allah.***

Editor: Muhammad Basir-Cyio

Sumber: www.jatim.nu.or.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x